Arsip | 3:29 PM

3600 Detik versi ICIL : Bab 2 “Do-Re-Mi”

12 Des

IFY membuka matanya dengan perlahan. Mentari sudah terang menyilaukan ketika memasuki jendela kamar tidurnya. Dilihatnya jam dinding. Jam sepuluh lebih lima belas menit. Yang pasti, sekolah sudah dimulai beberapa jam yang lalu. Ify heran mamanya tidak membangunkannya pagi-pagi untuk berangkat sekolah. Yang pasti, jam sekian ini mamanya pastisudah pergi ke kantor. Pekerjaan selalu lebih penting dari apa pun baginya.

Ify bangkit dari tempat tidurnya dengan perlahan. Selesai mandi dia mengenakan baju seragamnya dan dengan sengaja mengeluarkan bajunya, membuatnya jadi terlihat berantakan. Ketika Ify tiba di sekolahnya, gerbang sekolah sudah ditutup. Dia memanjat gerbang tersebut tanpa masalah.

Sesaat setelah kaki Ify menyentuh lapangan sekolah, seorang satpam berjalan menghampirinya. Sial, gerutu Ify dalam hati. Sebetulnya dia senang-senang saja aksi mmanjatnya diketahui seseorang. Semakin cepat dia membuat kesalahan, semakin cepat dia akan dikeluarkan dari sekolah ini. Tetapi perutnya sedang keroncongan karena tadi pagi belum makan. Saat ini yang dipikirkannya adalah bagaimana dia bisa menuju kantin secepatnya.

“Selamat pagi!” kata si satpam. “Apakah kau tidak tahu jika gerbang sudah ditutup, para siswa dilarang memasuki sekolah tanpa seizing guru?”

“Saya tahu kok!” kata Ify dengan enteng. “Pertama-tama Bapak akan menanyakan nama saya, lalu melapporkan saya pada guru piket hari ini, kemudian guru tersebut akan menentukan hukuman untuk saya.”

Si bapak satpam mengerutkan keningnya. Baru kali ini dia menemui seorang murid yang tidak merasa bersalah setelah melakukan pelanggaran sekolah. Dilihatnya Ify dari atas sampai bawah dengan teliti.

“Tunggu dulu!” kata Pak Satpam mengenali. “Kau murid baru itu, bukan? Baru masuk kemarin?”

Ify mengangguk. “Begini saja, Pak, bagaimana kalau Bapak berpura-pura tidak tahu tentang pelanggaran saya ini? Sebetulnya saya tidak keberatan kalau saya dihukum. Malah itu lebih baik. Tapi perut saya lapar saat ini, jadi saya tidak punya waktu untuk berbasa-basi lagi.”

Si bapak satpam mendesah. “Baiklah!” katanya menyerah. “Karena kau masih murid baru di sekolah ini, Bapak akan mengabaikan pelanggaranmu kali ini. Tapi lain waktu kau tidak boleh melakukannya lagi.”

Ifytersenyum. “Saya yakin saya akan melakukan hal ini lagi kapan-kapan. Saat itu Bapak boleh melaporkan saya pada para guru. Saya tidak keberatan sama sekali!”

Ify berlari meninggalkan pak satpam yang kebingungan mencerna arti perkataan tersebut. Dalam hati Ify menyadari bahwa mencari cara untuk membuat onar ternyata lebih mudah daripada menjadi murid terladan. Sama halnya dengan membuat kenangan buruk lebih mudah daripada membuat kenangan baik.

Perutnya berbunyi lagi. Ify berlari ke arah kantin. Tak berapa lama kemudia, dia duduk di bangku kantin sambil menimati makanannya. Setelah selesai, dia berjalan-jalan mengelilingi sekolah. Langkahnya terhenti saat melihat Alvin yang duduk di bangku taman sekolah. Dilihatnya teman-teman sekelas cowok itu sedang berolahraga tak jauh dari sana.

Ify berjalan mendekati lalu duduk di sebelahnya. “Wah! Rupanya si anak teladan bisa membolos pelajaran juga!”

Alvin menoleh ke arah Ify tapi tidak berkata apa-apa.

“Kau memang anak aneh! Tidak mau bicara lagi?” tanya Ify. “Bagaimana kalau aku beritahu Pak Guru kau bolos pelajaran olahraga?”

Kali ini Alvin menatap mata Ify. “Bukankah kau juga bolos?”

Ify tertawa. “Ya! Itu maksudku! Apakah sebaiknya kita memberitahu Pak Guru kalau kita berdua membolos? Aku jadi penasaran hukuman apa yang akan diberikan oleh mereka!”

“Aku tidak tahu!” kata Alvin jujur. “Aku belum pernah dihukum!”

Ify menggeleng-geleng. “Ya! Aku yakin begitu! Kau tidak pernah melakukan kesalahan makanya tidak pernah dihukum. Apakah kau tidak bosan menjadi anak teladan terus-menerus? Cobalah sekali-sekali menjadi anak nakal dan melihat betapa kreatifnya para guru membuat hukuman!”

“Kreatif?” tanya Alvin bingung.

“Dari lari keliling lapangan, mengecat meja sekoalh, menulis ‘aku tidak akan mengulangi kesalahan ini lagi’ di atas seratus lembar kertas, membereskan buku perpustakaan, sampai membersihkan WC!”

Alvin tertawa. “Dan kau merasakan semuanya?”

Ify menggeleng. “Tidak! Aku bilang aku melihat, bukan merasakan! Aku sudah keburu drop out sebelum hukuman itu dilaksanakan!”

“Kenapa kau tidak terkejut mendengarnya?” bisik Alvin perlahan.

Tangan Ify mengeluarkan sebatang rokok dan pematik api yang memang sudah dia bawa di sakunya. Ify menyelipkan rokok di bibirnya. Sebelum dia sempat menyulutnya, Alvin menatapnya dan berkata, “Tolong jangan merokok!”

Ify tertawa pendek. “Kenapa? Mau menasehatiku kalau merokok tidak bagus buat kesehatanku?”

Alvin menggeleng. “Tidak! Sebenarnya justru tidak bagus buat kesehatanku!”

Ify tertegun mendengarnya. “Apa maksudmu?” tanya Ify bingung.

“Aku sakit!” jelas Alvin sederhana.

“Sakit?” tanya Ify lagi.

Alvin mengangguk. “Aku tidak membolos pelajaran olahraga. aku memang tidak bisa mengikutinya.”

“Memangnya kau sakit apa?” tanya Ify penasaran. “Flu, sakit perut, demam, atau apa?”

Alvin menatap Ify dengan serius dan berkata tenang. “Aku punya kelainan jantung sejak lahir!”

Untuk sesaat Ify tidak sanggup berkata-kata. Mereka berdiam diri selama beberapa saat.

“Mengapa kau memperhatikanku kemarin sewaktu aku berolahraga?” tanya Ify tiba-tiba.

Alvin menatap Ify.

“Asal tahu saja, aku benar-benar tidak suka kalau ada orang yang memperhatikanku tanpa sepengetahuanku,” lanjut Ify lagi. “Apa kerena kau ingin melihat si anak baru yang berandalan, dan berfikir betapa beruntungnya kau menjadi murid teladan?”

“Tidak,” jawab Alvin singkat.

“Lalu kenapa?” tanya Ify penasaran.

Alvin terdiam sesaat, tapi kemudian menjawab, “Karena aku iri.”

“Iri?” Ify bingung.

“Ya! Aku iri padamu! Kau bisa bermain voli dengan senang. Aku tidak pernah bisa bermain seperti itu. Hidupku hanya berkisar di sekolah dan di rumah sakit. Tidak boleh berolahraga sekali pun karena itu bisa membahanyakan jantungku.”

Ify tidak menyangka Alvin akan berpikiran seperti itu. Baru pertama kali ada orang yang iri padanya hanya karena ia bermain voli. Sesaat Ify merasakan kasihan pada pemuda ini. Ify berusaha keras untuk menghancurkan hidupnya, dilain pihak Alvin justru berusaha keras untuk mempertahankan hidupnya.

Tiba-tiba saja Pak Donny muncul di hadapan mereka berdua. “Di sini kau rupanya! Alyssa, kenapa kau membolos? Dan apa itu? Rokok! Kau merokok juga? Apa yang kaulakukan bersama Alvin di sini? Sekarang juga kalian ikut ke ruangan Bapak!”

Pak Donny langsung mencabut rokok yang ada di tangan Ify dan membuangnya. Ify dan Alvin mengikuti Pak Donny ke ruangannya. Setibanya di sana, Pak Donny duduk dan tanpa basa-basi memulai pembicaraan.

“Alyssa!” katanya sambil menatap mata Ify. “Ini hari keduamu di sekolah, dan kau sudah membolos. Bapak sudah melihat data dirimu dari sekolah-sekolah sebelumnya. Banyak sekali pelanggaran yang kaulakukan. Merokok, bertengkar dengan temanmu, berpakaian tidak pantas di sekolah, membolos sampai kau dikeluarkan dari sana! Pihak sekolah sana tidak mau memberitahukan hal tersebut kepada Bapak!”

Ify tersenyum perlahan. “Saya menyebabkan ruangan olahraga nereka rusak terbakar!”

“Benarkah?” tanya Pak Donny terkejut.

“Kalau Bapak mau mengunjungi sekolah tersebut pastinya Bapak masih bisa melihat hasil pengecatan kembali ruang olahraganya!”

Pak Donny terdiam sesaat mendengar penjelasan Ify. “Menurutmu itu sesuatu yang membanggakan?”

Ify tidak menjawab pertanyaan Pak Donny.

“Baiklah!” desah Pak Donny. “Kira-kira apa hukuman yang layak untukmu, Alyssa?”

Ify tertawa. “Saya tidak tahu, Pak. Saya rasa Bapak lebih ahli soal hukuman daripada saya!”

“Kalau bagitu mulai besok kamu Bapak hokum untuk membersihkan toilet selama dua minggu!” kata Pak Donny tergas.

“Baiklah!” kata Ify enteng, “Tapi Bapak tahu kalau saya tidak akan melakukannya!”

“Kalau kau tidak mau melaksanakannya,” kata Pak Donny, “hukumannya bertambah menjadi tiga minggu!”

“Kenapa tidak dikeluarkans aja sekalian?” tanya Ify akhirnya.

Pak Donny menatap Ify dengan tegas. “Karena mengeluarkanmu adalah perkara yang terlalu mudah dan itu justru sesuai dengan keinginanmu, bukan?” saying sekali, Alyssa, kau tidak akan semudah itu dikeluarkan!”

“Kita lihat saja nanti!” kata Ify tenang.

Pak Donny juga membalasnya sambil tersenyum, “Bapak tidak sabar untuk melihatnya!” Tatapannya beralih pada Alvin. “Sekarang kau, Alvin, apa yang kau lakukan bersama Alyssa?”

Alvin menjawab dengan tenang, “Tidak ada, Pak!”

“Benarkah tidak ada apa-apa?” tanya Pak Donny sekali lagi.

Alvin mengangguk.

“Bapak percaya padamu!” kata Pak Donny.

Ify memandang Alvin dan Pak Donny dengan sinis. Begitu mudahnya wali kelasnya itu percaya pada Alvin. Tidak pernah ada yang percaya pada Ify. Tidak seorang pun.

Pak Donny melirik Ify lagi. “Cobalah untuk bersikap baik, Alyssa. Masa muda hanya terjadi sekali seumur hidup. Kau akan menyesal kalau menyia-nyia-kannya!”

Kenapa sih guru-guru selalu berpetuah panjang-lebar? Tanya Ify dalam hati.

“Nikmati masa mudamu! Bertemanlah sebanyak-banyaknya!” kata Pak Donny.

“Bapak pasti bercanda!” kata Ify ketus. “Tidak ada seorang pun yang mau berteman dengan saya!”

Alvin tiba-tiba berkata, “Aku mau berteman denganmu!”

“Sayang sekali.” Balas Ify, “aku tidak mau berteman denganmu!”

Pak Donny berdiri dari kursinya. “Bapak harus menghentikan perdebatan kalian karena harus masuk kelas untuk mengajar, dan sebaiknya kau juga berada di sana, Alyssa!”

Ify dan Alvin keluar dari ruangan Pak Donny.

“Benarkah semua data tentang dirimu tadi?” tanya Alvin penasaran di luar kantor.

Ify tersenyum. “Sebetulnya ada satu yang tidak akurat! Aku tidak membolos lima kali, aku membolos setiap hati!”

Alvin tertawa. “Tiap hari?”

“Ya!” kata Ify. “Kau yakin kau mau jadi temanku, anak teladan?”

“Perkataan terakhir tadi membuatku yakin untuk menjadi temanmu!” Alvin berkata tulus.

“Oh! Perkataan yang manis!” ejek ify. “Tapi saying sekali, aku tidak mau jadi temanmu. Tidak sekarang, tidak juga nanti!”

“Aku hanya ingin menjadi temanmu. Kalau kau tidak mau jadi temanku, tidak apa-apa! Aku mengerti. Aku akan tunggu sampai kau mau jadi temanku!”

“Itu tidak akan terjadi!” kata Ify ketus.

“Aku orang yang optimis, Ify! Aku punya keyakinan hal itu akan terjadi,” kata Alvin yakin sambil berlalu dari hadapan Ify.

***

Ify memainkan makanan dipiringnya. Dia memandang mamanya dengan kesal. Malam ini, saat Ify sedang makan, mamanya tiba-tiba masuk dan duduk di seberangnya.

“Jadi kau membuat masalah lagi di sekolah!” kata Mama langsung.

 

Ify tertawa. “Wow! Aku kira Mama datang mau makan malam bersamaku, ternyata Mama hanya mau menegurku lagi! Jadi apa yang terjadi? Wali kelasku menelpon Mama?”

“Ify!”

Ify membalas teriakan mamanya dengan menusukkan garpunya pada lauk di piringnya dan mengunyahnya.

“Merokok dan bolos pelajaran?” tanya mamanya marah. “Apakah kau tidak kapok juga?” apa ini caramu menarik perhatian Mama?”

“Aku rasa Mama salah!” kata Ify. “Aku tidak bermaksud menarik perhatian Mama!” kata Ify tanang. “Aku hanya bermaksud membuat Mama marah! Dan tampaknya itu berhasil!”

Mama Ify langsung menggebrak meja. “Mama tidak mau melihat kelakukanmu seperti ini lagi, Ify! Hentikan sifat kekanak-kanakan ini! Mau sampai kapan kau begini?”

Ify tertawa lebar.

“Kenapa kau tertawa?” teriak mamanya kesal.

“Aku merasa lucu sekali!” kata Ify. “Mama toh tidak akan sempat melihat kenakalanku karena Mama tidak akan beraa di sini saat aku melakukannya! Bukankah Mama mau pergi ke luar kota lagi?”

“Ify!!!!” teriak mamanya kehilangan kesabaran. Ify memandang mamanya dengan bosan dan bangkit dari tempat duduknya di meja makan. Dilihatnya vas bunga kesayangan mamanya di buffet dekat pintu, dan dengan sengaja Ify menjatuhkannya. Vas bunga itu pecah berkeping-keping.

Mama Ify semakin murka. “Cukup, Ify! Hentikan semua ini sekarang juga! Kau tahu itu vas bunga kesayangan Mama!”

“Ya, aku tahu!” kata Ify. “Toh Mama bisa membelinya lagi, iya kan?” Lalu dengan manisnya Ify berkata, “Permisi Ma, Ify capek, mau istirahat dulu!”

“Tunggu, Ify!” kata mamanya perlahan. “Kenapa kita selalu saja berteriak satu sama lain? Tidak bisakah kita berbicara dengan tenang?”

Ify menggeleng. “Aku rasa tidak. Lagi pula hanya inilah satu-satunya persamaan yang kita miliki! Berteriak satu sama lain! Aku tidak ingin mendengarkan penjelasan apa pun dari Mama. Karena aku tidak akan memercayai satu pun perkataan Mama saat ini. Mama kan tahu hanya Papa yang bisa menenangkanku!”

“Tapi papamu sekarang tidak ada di sini!” jawab mamanya.

“Dan salah siapakah itu?” cemooh Ify.

Mamanya menarik napas. “Kalau kau merasa lebih baik dengan menyalahkan Mama atas kepergian papamu, Mama tidak keberatan! Silahkan salahkan Mama sepuasmu! Tapi hal itu tetap tidak membuatmu puas, bukan? Mama berpisah dengan papamu karena kami berdua menginginkan hal yang berbeda. Tentu saja Mama mencintai papamu, tadi kadang urusannya tidak sesederhana itu!”

“Kalau Mama mencintai Papa, Mama tidak akan berpisah dengannya!” kata Ify tegas. “Apa pun yang Mama katakana tidak akan membuatku lebih baik. Mama tahu kenapa? Karena semakin Mama bicara seperti itu, semakin aku membenci Mama!”

Setelah itu Ify bergegas ke kamarnya, meninggalkan ibunya yang terdiam di ruang makan. Tak berapa lama kemudian, telepon berdering. Mama Ify mengangkatnya.

“Halo!”

“Ini aku!” kata suara di telepon. “Bagaimana keadaanmu, Gina?”

Mama Ify, yang bernama Gina Sonia, mendesah. Dia tidak siap menerima telepon mantan suaminya saat ini. Selama satu tahun ini, mantan suaminya sudah sering menghubunginya untuk menanyakan keadaan dirinya dan Ify. Terutama Ify. Dan siring waktu keduanya sudah bisa berteman baik.

“Seperti biasa!” keluh Widia. “Anak kita masih tidak bisa menerima perceraian kita!”

Suara di ujung telepon mendesah, “Aku akan mencoba bicara padanya, Gina!”

Mama ify menyetujui, “Sebaiknya begitu. Dia tidak mau bicara denganku sama sekali.”

“Aku akan coba, Gina. Oh iya, aku sudah mengirimkan undangan pertunanganku seminggu yang lalu!” kata mantan suaminya.

“Aku belum sempat mengucapkan selamat padamu!” kata mama Ify. “Aku harap kau berbahagia dengan calon istri barumu!”

“Terima kasih!” balas papa Ify. “Semoga kau juga cepat menemukan kebahagiaanmu!”

“Lebih baik kau tidak membicarakan pertunangan ini pada Ify!” kata mantan istrinya. “Dia sedang benar-benar marah saat ini. Aku rasa berita ini akan membatnya semakin marah. Aku rasa sebaiknya kita menunggu sampai dia tenang dahulu baru memberitahunya.”

“Setuju!” kata papa Ify. “Aku akan menelponnya sekarang. Selamat malam, Gina!”

“Selamat malam!” balas mama Ify lalu menutup teleponnya.

 

Mama Ify menarik napas dalam-dalam, lalu memejamkan matanya. Di benaknya tergambar kembali perpisahan mereka satu tahun yang lalu.

 

“Aku ingin Ify ikut denganku, Gina!” kata suaminya waktu itu.

“Aku tahu!” kata Gina. “Tapi aku ingin memohon satu hal padamu. Aku tahu ini pasti sangat berat untuk kaulakukan.”

“Apa itu?” tanya papa Ify lagi.

“Biarkan Ify tinggal di sini bersamaku!” kata Gina.

“Tapi…”

“Aku ingin kau memberiku kesempatan supaya aku bisa dekat dengan Ify. Aku tahu selama ini aku selalu sibuk, sehingga kaulah yang lebih dekat dengannya.”

“Aku tidak begitu yakin Ify akan menerimanya dengan baik.” Papa Ify menatap mantan istrinya dengan cemas.

Gina tidak kuasa menahan tangisnya. “Tolong kabulkan permintaanku ini. Aku ingin Ify tinggal bersamaku. Sampai dia lulus SMA saja. Setelah itu kau bisa tinggal bersamanya.”

Papa Ify terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk. “Baiklah.”

“Satu hal lagi,” kata Gina, “aku ingin permintaanku ini dirahasiakan dari Ify. Aku mohon padamu! Aku ingin Ify member kesempatan untuk membuka hatinya padaku. Kalau dia tahu dia akan pergi bersamamu setelah lulus SMA, dia pasti tidak akan memedulikan aku sama sekali. Aku ingin anakku mencintaiku seperti aku mencintainya.”

Melihat kesedihan di mata mantan istrinya, papa Ify tidak kuasa menolak permintaannya. “Baiklah!” katanya.

Sangat tidak mudah memberitahukan perpisahan mereka pada Ify. Dari awal Ify sudah bersikap keras kepala dan tidak menerima perpisahan kadua orangtuanya. Apalagi setelah tahu Papa akan pergi meninggalkannya untuk pekerjaan barunya di luar negeri. Saat itu Ify menatap papanya dengan tajam.

“Kenapa Papa tega melakukan hal ini padaku?” tanya Ify. “Kenapa Papa harus meninggalkanku?”

“Ify…,” kata suaminya, “mamamu dan papa sudah tidak bisa bersama lagi. Kami merasa ini jalan yang terbaik buat kami.”

Ify menangis dengan keras. “Tapi bukan jalan terbaik untukku, Pa!”

“Maaf!” kata suaminya.

“Maafkan kami, Ify!” kata Gina sambil menyentuh tangan anaknya. Ify langsung menepis tangan mamanya.

“Ini pasti karena Mama, bukan?” Ify menatapnya dengan marah. “Semua pasti karena Mama!”

“Ify!” teriak suaminya. “Jangan berbicara seperti itu pada mamamu!”

Ify menatap kedua orangtuanya dengan putus asa. Lalu dia menatap papanya. “Papa mau pisah dengan Mama?!! Aku tidak terima. Pokoknya Ify ingin Papa tinggal di sini. Jangan pergi ke luar negeri.”

Suaminya menatap Ify dengan gelisah. “Ify… Papa…”

“Pilih!” teriak Ify. “Pekerjaan Papa di luar negeri atau Ify!”

“Ify! Masalahnya tidak sesederhana itu!”

Ify menatap papanya untuk pertama kalinya dengan tatapan kosong. Lalu dia tersenyum sedih. “Jadi… Papa lebih memilih pekerjaan Papa.”

“Tidak!”

“Kalau begitu tinggal!” kata Ify.

Suaminya terdiam. Pekerjaan barunya ini benar-benar berarti baginya. Dia mendapatkannya dengan susah payah. Dia juga ingin memberitahu Ify bahwa setelah lulus SMA, Ify akan tinggal bersamanya. Tapi dia sudah berjanji pada Gina untuk merahasiakan hal tersebut dari Ify.

Ify tertawa histeris. “Sekarang Papa sudah sama seperti Mama. Pekerjaan lebih oenting daripada anak sendiri. Tak akan satu pun dari kalian yang memedulikan perasaanku saat ini.”

Setelah itu Ify berlari masuk ke kamar tidurnya dan membanting pintunya. Dia menutup diri dan berkurung di kamarnya selama dua minggu. Sekeras apa pun orangtuanya membujuknya, Ify tetap tinggal di kamarnya. Kecuali jika ingin membeli makanan, itu pun dilakukan dengan diam-diam. Saat akhirnya Ify kelaur dari kamarnya, dia tidak mengucapkan satu patah kata pun. Dia tidak menjawab apa pun yang ditanyakan orangtuanya. Satu hari sebelum keberangkatannya ke luar negeri, suaminya menunggui Ify di luar kamanya. Ify malah tidak keluar sama sekali.

Keesokan paginya, suaminya berkata dari balik pintu. Ia benar-benar sedih. Air mata tergenang di matanya.

“Ify… Papa harus pergi sekarang. Jaga dirimu baik-baik! Papa pasti akan meneleponmu setiap hari!”

Di kamanya, Ify juga menangis. Tetapi tangisannya dia redam dengan bantal tidurnya. Dia tidak menyangka Papa benar-benar akan pergi meninggalkannya. Satu-satunya orang yang dia percayai telah membuatnya kecewa dan terluka.

Sejak saat itu, mantan suaminya memang menelepon putrinya setiap hari. Tetapi Ify tidak mau mengangkat teleponnya. Bagi Ify kebutusan papanya untuk meninggalkan dirinya tidak bisa dimaafkan sama sekali. Ify tidak ingin berbicara apa-apa lagi. Awalnya Ify merasa rindu dan ingin menelepon papanya. Tetapi rasa benci yang selalu muncul ke permukaan mengalahkan parasaan rindunya. Untuk melupakan masalah orangtuanya, Ify mulai membolos dan berubah menjadi anak berandalan.

Gina merasa cemas melihat perubahan tingkah laku putinya. Ia langsung menelepon mantan suaminya karena merasa khawatir. Keesokan harinya papa Ify langsung datang.

Tapi, kedatangan papanya tidak membuat Ify menjadi tenang, mallah kebalikannya. Dia bahkan tidak mau berbicara sepatah kata pun pada mantan suaminya itu karena masih kecewa dan sakit hati. Usulan mengunjungi psikiater yang disarankannya, dan disetujui oleh papa Ify, tidak digubris. Ia malah semakin jauh dari kedua orangtuanya. Tak terasa sudah satu tahun berlalu, Ify masih tetap keras kepala dan tidak mau berbicara pada papanya.

***

Gina membuka matanya dan menatap sedih ke kamar anaknya. Dia tidak tahu lagi harus berbuat apa. Dia hanya berharap semoga Ify mau berbicara dengan papanya di telepon kali ini..

***

Terdegar HP Ify berbunyi di kamarnya. Ify mengangkat HP-nya dari meja dan melihat siapa yang meneleponnya. Papa. Ify membiarkannya berdering tanpa henti selama lima menit. Dia tidak mau berbicara pada siapa pun juga saat ini. Dan Ify tahu Papa hanya akan menyuruh untuk melunak pada Mama. Satu hal yang tidak ingin ia lakukan. Saat ini dia malas berbicara pada kedua orangtuanya. Dia tidak butuh nasihat apa pun. Dia hanya ingin sendirian.

Ketika berdering lagi, Ify memutuskan untuk mematikan HP dan menaruhnya kembali ke meja. Ify berusaha memejamkan matanya, dan tak lama kemudian dia tertidur.

***

Keesokan harinya Ify menemukan Alvin di ruang musik.

“Hai!” sapa Alvin ketika melihat kedatangan Ify.

“Kau selalu main setiap hari?” tanya Ify

“Tidak juga!” kata Alvin. “Kau bisa main piano?”

“Dulu waktu kecil!” kata Ify jujur. “Sekarang aku sudah lupa semuanya!”

Ify tidak tahu mengapa dia berada di sini, tetapi suara music Alvin anehnya telah membuat hatinya tenang dan nyaman. Bukan reaksi yang ia harapkan sebelumnya.

“Tidak apa-apa!” kata Alvin tersenyum. “Aku bisa mengingatkanmu lagi!”

“Aku tidak mau main piano!” kata Ify tegas. “Aku sudah bilang, jangan pernah ikut campur urusanku!”

Alvin memainkan lagu baru. “Aku hanya mau menjadi temanmu!”

“Sudah berapa kali kubilang, aku tidak mau!” kata Ify keras.

Alvin malaha tersenyum lagi mendengarnya. “Aku kan sudah bilang tidak apa-apa!”

Mereka terdiam sesaat sambil beradu pandang.

“Ada satu hal yang menarik perhatianku kemarin!” lanjut Alvin.

Ify tersenyum sinis. “Kenapa? Kau tidak pernah melihat orang mencuri sebelumnya?”

Alvin menggeleng lalu berkata lagi, “Kau bisa mencuri CD lagu apa saja, tetapi kenapa memilih The Sound of Music?”

Tatapan mata Alvin membuat Ify brdiri dengan gelisah. “Karena aku menyukai salah satu lagu di dalamnya!”

“Lagu yang mana?” tanya Alvin sambil menatap Ify lagi dengan lembut.

Do-Re-Mi!” jawab Ify.

“Alvin mengangguk lalu dia memainkan lagu tersebut dengan pianonya. Mendengar lagu terseut setelah sekian lama membuat Ify mengenang masa lallu. Perlahan-lahan Ify melangkah mendekati Alvin. Kemudian duduk di sampingnya.

“Sudah lama aku tidak mendengar lagu ini!” ujar Ify lemah. “Papa sering memainkannya untukku sewaktu aku kecil!”

Dan hal itu selalu membuatku nyaman, renung Ify dalam hati.

Ketika dentingan piano berakhir, Ify memandang Alvin dengan lembut.

“Bisakah kau memainkannya lagi?” pintanya.

Tanpa berkata apa-apa Alvin memainkannya lagi.

Lama-kelamaan kenangan lama bermunculan di benak Ify. Kenangan bahagia dan juga kenangan pahit ketika Papa meninggalkannya. Semua itu membuat Ify ingin menangis. Perasaan itu muncul kembali. Sakit hati. Kecewa. Marah. Sedih.

Merasa tidak tahan lagi, Ify menghentikan permainan piano Alvin dengan menekan tuts piano di depannya dengan keras.

Seketika itu juga Alvin menghentikan permainannya. “Ada apa?”

Ify menatapnya dengan tajam, “Apakah menurutmu seseorang bisa mencintai dan membenci orang yang sama pada saat yang bersamaan?”

Alvin tidak menjawab.

Ify bangkit dari kursinya dan berlari keluar dari ruangan.

Alvin terdiam tidak bergerak. Sesaat tadi Ify sempat merasa tenang di samping Alvin, tetapi tiba-tiba sesuatu telah membuatnya gusar. Ketika Alvin mengatakan dia iri pada Ify, dia mengatakan yang sebenarnya. Pertama kali Ify muncul di ruang music ini, Alvin merasakan energy kehidupan terpancar dari gadis itu. Sewaktu mengamatinya main voli, energy itu semakin bersinar. Dan Ify satu-satunya orang yang tidak memperlakukannya seperti seseorang yang lemah, walaupun dia sudah mengatakan penyakit yang dideritanya.

Sementara itu, Ify berlari menuju kelasnya. Napasnya terengah-engah. Berapa kali pun kenangan itu muncul, perasaan Ify tetap kacau. Karena sesungguhnya sebenci apa pun dia pada papanya, dia tetap merindukannya.

Selama pelajaran berlangsung, Ify tidak mendengarkan satu pun perkataan para guru yang mengajar di depannya. Ketika salah satu guru mennyakan sesuatu kepadanya, Ify tidak menjawab sama sekali. Guru tersebut marah karena merasa diabaikan.

Ify tetap berdiam diri. Malah dirinya sengaja menggambar seorang murid yang sedang mengantuk di mejanya dengan bolpoin. Melihat hal itu guru tersebut langsung mengusir Ify keluar dari kelas, karena jelas-jelas Ify tidak berkonsentrasi mengikuti pelajaran.

Ify malah tersenyum kurang ajar, “kenapa tidak bilang dari tadi?” Lalu dengan santainya dia keluar dari kelas.

Pelajaran selanjutnya Ify sama sekali tidak memerhatikan dan sengaja tidur di bangkunya. Ketika istirahat tiba, salah seorang murid, yang ternyata si ketua kelas, berkata kepadanya.

“Bisakah kau menghapus papan tulis? Kami sudah memutuskan kalau hari ini giliranmu piket!”

Ify melotot memandangnya.

Si ketua kelas mengurungkan niatnya melihat tatapan mata Ify. Dia tidak mau bermasalah dengan Ify. Akhirnya dia berjalan menjahui Ify dan menghapus sendiri papan tulis tersebut. Ify merebahkan diri di mejanya dan menutup matanya. Hari ini berjalan lambat sekali, keluhnya dalam hati.

“He, tebak, siapa yang mendapat nilai paling tinggi saat ujian uji coba EBTANAS minggu lalu?” salah seorang murid di depan Ify berkata dengan antusias.

“Siapa?” tanya murid di sebelahnya.

“Alvin! Anak 3 IPA 1,” katanya, “hebat sekali dia!”

“Bukankah sejak kelas satu dia selalu mendapat juara satu? Lalu minggu kemarin juga dia menjuarai lomba piano itu, kan?”

“Wah, seandainya saja aku punya otak sehebat dia! Pasti mamaku tidak akan rewel, ketakutan aku tidak lulus!”

“Memangnya Cuma mamamu yang rewel? Mamaku malah mengancam akan menghukumku kalau sampai tidak lulus!”

Pembicaraan kedua orang itu membuat Ify terdiam. Ternyata Alvin adalah murid yang pandai. Jadi sekarang selain tukang ikut campur, disukai guru, jago main piano, ternyata dia pandai juga? Keluh Ify. Benar-benar tipe murid teladan sejati.

Ify penasaran apa yang akan dipikirkan kedua orang di depannya kalau dia mengatakan si teladan yang dibicarakan mereka setelah meminta dirinya untuk menjadi temannya. Pasti mereka tidak akan percaya. Ada satu hal yang mengganggu perasaan Ify. Tadi untuk sesaat, dia benar-benar tersentuh mendengar permainan piano Alvin dan tatapannya yang tulus. Satu hal yang jarang Ify rasakan selama satu tahun ini.

Saat bel tanda pulang sekolah berbunyi, Ify bangkit dari tempat duduknya dan berlari menuju gerbang sekolah. Tentu saja dia tahu kalau hari ini dia harus membersihkan WC sepulang sekolah sebagai hukuman merokok dan membolos kemarin, tetapi Ify tidak akan melakukannya.

Sepulang sekolah Pak Donny mendatangi WC sekolah dan tidak melihat seorang pun di dalamnya. Dia mengangkat bahu. Dalam hati merasa kecewa. Tak lama setelah Pak Donny meninggalkan WC, Alvin melangkah ke tempat itu. Dia juga tidak melihat Ify di sana. Alvin terdiam. Perkataan Ify saat pertemuan pertama terngiang-ngiang di benaknya.

“Kau akan tahu satu atau dua minggu lagi saat kau mengucapkan selamat tinggal padaku!

Kini Alvin tahu apa maksudnya.